Selasa, 23 November 2010

Tak Cukup Hanya Cinta

“Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?”, sebuah pertanyaan tiba-tiba mengejutkan aku yang sedang mencari-cari sandal sepulang kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya Mbak Artha tetangga satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia rajin datang ke majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama yang aku kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-masing membuat kami jarang bertemu, hanya seminggu sekali saat ngaji seperti ini atau saat ada acara-acara di mesjid. Mungkin karena sama-sama perantau asal Jawa, kami jadi lebih cepat akrab.
“Kebetulan Mas Adi sedang dinas keluar kota mbak, Jadi Saya pergi sendiri”, jawabku sambil memakai sandal yang baru saja kutemukan diantara tumpukan sandal-sendal yang lain. “Seneng ya dhek bisa datang ke pengajian bareng suami, kadang mbak kepingin banget ditemenin Mas Bimo menghadiri majelis-majelis taklim”, raut muka Mbak Artha tampak sedikit berubah seperti orang yang kecewa. Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih tepatnya mengeluarkan uneg-uneg. Sebenarnya aku sedikit risih juga karena semua yang Mbak Artha ceritakan menyangkut kehidupan rumahtangganya bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa aku dengerin aja, masak orang mau curhat kok dilarang, semoga saja aku bisa memetik pelajaran dari apa yang dituturkan Mbak Artha padaku. Aku dan Mas Adi kan menikah belum genap setahun, baru 10 bulan, jadi harus banyak belajar dari pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam manis pernikahan termasuk Mbak Artha yang katanya sudah menikah dengan Mas Bimo hampir 6 tahun lamanya.
“Dhek Lia, ndak buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol dulu”, tiba-tiba mbak Artha mengagetkanku. ” Nggak papa mbak, kebetulan saya juga lagi free nih, lagian kan kita dah lama nggak ngobrol-ngobrol”, jawabku sambil menuju salah satu bangku di halaman TPA yang masih satu komplek dengan Mesjid.
Dengan suara yang pelan namun tegas mbak Artha mulai bercerita. Tentang kehidupan rumah tangganya yang dilalui hampir 6 tahun bersama Mas Bimo yang smakin lama makin hambar dan kehilangan arah.
“Aku dan mas Bimo kenal sejak kuliah bahkan menjalani proses pacaran selama hampir 3 tahun sebelum memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja dalam hal agama”, mbak Artha mulai bertutur. “Bahkan, boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga tidak termasuk mahasiswa yang agamis. Bahasa kerennya, kami adalah mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi. Walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin tidak meninggalkan sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib pasti kami jalankan, ya mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo orang yang sabar, pengertian, bisa ngemong dan yang penting dia begitu mencintaiku, Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada pilihan lain, aku dan mas Bimo harus segera menikah karena dorongan syahwat itu begitu besar. Berdasar inilah akhirnya aku menerima ajakan mas Bimo untuk menikah”.
“Mbak nggak minta petunjuk Alloh melalui shalat istikharah?”, tanyaku penasaran. “Itulah dhek, mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk urusan besar seperti nikah ini aku sama sekali tidak melibatkan Alloh. Jadi kalo emang akhirnya menjadi seperti ini itu semua memang akibat perbuatanku sendiri”
“Pentingnya ilmu tentang pernikahan dan tujuan menikah menggapai sakinah dan mawaddah baru aku sadari setelah rajin mengikuti kajian-kajian guna meng upgrade diri. Sejujurnya aku akui, sama sekali tidak ada kreteria agama saat memilih mas Bimo dulu. Yang penting mas Bimo orang yang baik, udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup. Toh nanti bisa dipelajari bersama-sama itu pikirku dulu. Lagian aku kan juga bukan akhwat dhek, aku Cuma wanita biasa, mana mungkin pasang target untuk mendapatkan ikhwan atau laki-laki yang pemahaman agamanya baik”, papar mbak Artha sambil tersenyum getir.

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.
Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”

Senin, 22 November 2010

Nayna dan Cangkir Kopi

Aku hanya menyisakan gigil di beranda rumah. Kopi di cangkir telah dingin dan laron-laron mati di bawah cahaya neon. Sedari tadi aku menunggu kantuk yang tak datang-datang. Ranting pohon rambutan di hadapanku menjelma ribuan kepompong yang bergelantungan serupa harapan. Tak ada suara kecuali dengung nyamuk dan tetesan ledeng bocor dari rumah tetangga.
Saat-saat seperti inilah aku selalu terkenang padanya. Pada beranda yang kerap menjadi panggung saat memainkan tiap babak tentang Nayna. Tentang mimpi-mimpi dan permainan api. Juga sesekali tentang warna sandalnya yang lucu. Lalu kami tertawa menunggu hujan reda di beranda. Nayna, tahukah kau, saat kulihat di kedalaman matamu. Bunga-bunga sedemikian mekar di halaman, angsa-angsa menari, kupu-kupu meneguk rumpun sari. Kita tak pernah peduli matahari telah terlalu lama pergi.
Masih diberanda ini. Cangkir kopi yang sama saat Nayna menyuguhiku dengan kopi yang kemanisan. Selalu begitu meskipun ia tahu betapa aku tak pernah benar-benar menghabiskannya. Lalu ia mencicipi dan mengacungkan jempol meyakinkan bahwa kopi buatannya begitu nikmat.
“Jangan terlalu banyak kopi, takarannya kukurangi dan gulanya kutambah.” Katanya sambil mengaduk cangkir itu sedemikian lama hingga gulanya benar-benar larut. Ah, Nayna. Hal yang sepelepun membuatku sebegitu haru mengenangmu.
 Barangkali segala macam cara telah tuntas kulakukan. Bertumpuk surat cinta telah pula kutuliskan, namun tak pernah benar-benar bisa kusampaikan. Sudah tujuh tahun beranda ini menjadi penjara yang kejam. Tujuh tahun sudah kekangenanku menjadi kutukan. Sakit. Disini, beranda ini kini serupa patung-patung putih yang berusaha mengucapkan diri dan kenangannya tentang seseorang. Seseorang yang pernah duduk di beranda ini dan meninggalkan semacam rasa perih dan kerinduan yang tak bisa berhenti, tak terobati.
Beberapa tahun lalu pernah kudengar Nayna akhirnya menggapai cita-citanya menjadi guru bagi anak-anak terbelakang di pedalaman Kampar Hulu, Kabupaten Indragiri Riau. Tapi bagaimana mungkin aku menyusulnya? Sementara ia sudah beranak dua dan lelaki selingkuhan yang menjadi suaminya itu telah membuatnya bahagia?
Lelaki yang dulu potretnya secara tidak sengaja kulihat di dompetnya. Lelaki yang dulu sempat membuatku menampar Nayna dan menerbangkan seribu sayap kupu-kupu di beranda rumah. Lelaki yang memiliki penghasilan yang baik karena bekerja sebagai mandor perkebunan sawit. Lelaki yang berhasil membuat Nayna melawan rezim keluarga dengan minggat kawin lari seusai wisuda.
Namun sungguh, aku mengenal Nayna sangat dalam. Ia memilih jalan hidup sendiri seperti impiannya tempo hari di beranda ini. Menjadi guru, mengajari anak-anak membaca buku, mengajaknya mengenal angka, dan sesekali berlatih menari. Tapi Nayna tak mau melakukannya di kota ini. Katanya, di kota ini guru-guru sudah sulit sekali dikenali. Guru-guru disini hanya berpikir besarnya tunjangan dan kenaikan gaji. Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Diam-diam akupun merajut impian baru, di pedalaman. Ya, di pedalaman agar akupun bisa mengikuti kibas sayapnya. Tapi menjadi apakah aku? Penebang hutan? Pengumpul rotan? Ilmuwan? Atau seorang buya yang mengajarkan agama?
Semakin larut. Bunga-bunga rambutan bergoyang diantara dedaunan. Masih dengan dengung nyamuk dan tetesan ledeng bocor dari rumah tetangga. Cangkir kopi di depanku semakin mengarca diantara derit kursi bambu yang kududuki dengan gelisah. Nyala rembulan semakin tampak setelah lindap dibalik awan pekat. Hujan setengah malam adalah perihal biasa di kota Sungai Penuh. Mungkin di kota kecil yang dikelilingi jejeran Bukit Barisan ini hujan turun sepanjang tahun. Aku dan Nayna sepakat bahwa hujanlah yang kerap memperpanjang durasi setiap pertemuan.
*          *          *
Stasiun Gambir sudah ramai di pagi hari. Aku memesan tiket ke Yogyakarta jam 2 siang. Masih tersisa setengah hari untukku menunggu kereta Senja Utama. Setelah kepergian Nayna aku memang kerap meninggalkan kota Sungai Penuh untuk sekedar melanjutkan hidup jika tidak ingin disebut melarikan diri dari kenyataan apalagi frustasi, lalu terbunuh sepi. Begitu sakit aku kehilangan Nayna, terlebih jika mengenang bahwa aku sempat menghitung berapa jumlah pori-pori pada tubuhnya. Benar kata orang bahwa kulit itu adalah candu.
Aku memesan makanan dan kopi di warung padang sambil membuka-buka koran pagi menghilangkan kebosanan. Beberapa pengamen datang bergantian tanpa sepeserpun yang kuberikan. Aku begitu malas mendengarkan apapun pagi ini. Tidak juga suara wanita sales obat kuat yang berdandan seksi.
Beberapa halaman koran kulumat diantara kepulan asap. Menunggu membuat asbak didepanku begitu cepat penuh dengan puntungan-puntungan. Beberapa tahun terakhir aku memang begitu akrab dengan suasana perjalanan. Aku tidak menyalahkan Nayna yang menyebabkanku tidak tahu kemana harus pulang. 
Kereta Senja Utama datang enam jam lagi. Biasanya selepas senja kereta ini akan menurunkan penumpang di Stasiun Tugu Yogyakarta. Lalu aku akan mampir di jalan Pajeksan membeli dua atau tiga liter lapen untuk dibawa pulang dan meminumnya hingga tuntas memakai cangkir putih di beranda. Berusaha menanggalkan kenangan kopi manis buatan Nayna.
Tapi rupanya aku ini memang laki-laki keturunan bengal. Justru mabuk semakin membuatku meracaukan segala perihal tentang Nayna. Tentang Nayna dan seribu sayap kupu-kupu di Taman Nasional Kerinci Seblat nun di belantara Sumatera.
Di depanku melintas-lintas berbagai macam asongan. Mulai dari rokok, makanan, ikat pinggang dari kulit buatan, hingga pernak-pernik murahan. tiba-tiba mataku seperti tertusuk ranting yang runcing. Dadaku berpacu mencari tahu. Di balik keramaian orang-orang aku melihat perempuan berkerudung kuning menyelinap menawarkan dagangannya. Aku berdiri mendekati perempuan itu. Wajahnya kian jelas, namun aku tidak begitu yakin bahwa aku benar-benar mengenalnya. Nayna-kah itu? Hatiku dilanda puting beliung, menghamburkan bertumpuk rasa sakit dan  nyeri yang asing. Bagaimana mungkin Nayna ada di Stasiun Gambir dan tiba-tiba menjadi penjual roti? 
Wajah perempuan itu semakin kentara dibalik kerudung kuningnya yang lusuh. Tubuhnya yang ramping terlihat kurus dibalut kaos bergaris tipis. Ia menjinjing dua keranjang penuh roti beraneka rasa. Ah, tidak mungkin itu Nayna. Alisnya yang runcing semakin kukenali meski matanya tak lagi bening seperti dulu selalu kutelusuri demikian dalam. Wanita itu belum melihatku, ia masih berusaha meyakinkan kepada setiap orang di depannya bahwa roti yang dijualnya masih hangat dan nikmat.
“Nayna!”
Wanita itu melihat kearahku. Aku yakin sekali bahwa keterkejutannya tidak kalah dengan yang kurasakan. Namun sungguh, ia tampak begitu tenang. Ia mendekatiku.
“Rotinya, Mas? Ada roti sirup, coklat, pisang… dan ini rasa kopi. Silahkan mau yang mana. Lumayan buat sarapan atau bekal di jalan. Nanti kalau di kereta mahal lho.”
“Nayna?”
“Harganya murah lho, Mas. Cuma dua ribu lima ratus kok.”
*          *          *
Musholla Baiturrahmah di pojok benteng kidul alun-alun Yogyakarta selepas sholat isya masih terdapat beberapa jama’ah istiqomah yang belum beranjak pulang. Mereka sengaja aku undang untuk menjadi saksi pernikahanku dengan Nayna. Hanya ada beberapa piring penganan dan minuman gelas yang kusuguhkan. Aku dan Nayna telah menikah siri malam ini dan Ustdaz Ramlan yang biasa mengimami sholat yang menjadi penghulunya. Cara ini terpaksa kami tempuh meski aku tahu betul bahwa Majelis Ulama telah memfatwakan haram.
Malam ini aku resmi menjadi suami Nayna. Tak satupun keluarga kami yang tahu perihal pernikahan ini. Kami masih terlalu pengecut untuk memberitakannya kepada keluarga di kampung. Biarlah kami menikmati masa-masa indah ini dengan cara kami sendiri. Waktu-waktu yang begitu aku nantikan setelah tujuh tahun kesakitan. Aku telah memiliki Nayna seutuhnya. Juga Lukman dan Syahril yang kini telah kuanggap sebagai anakku sendiri meski mereka masih belum terbiasa memanggilku Bapak.
Kami tinggal di rumah kontrakan tidak jauh dari musholla itu. Nayna tidak lagi menjadi penjual roti di Stasiun Gambir seperti yang kutemui dua minggu yang lalu ketika transit perjalanan dari kota Sungai penuh menuju Yogyakarta. Sebuah perjalanan yang tidak seperti biasanya. Aku benar-benar tidak menyangka bisa bertemu Nayna di tempat yang tidak pernah aku duga. Aku juga tidak pernah membayangkan nasib Nayna menjadi sedemikian rupa. Aku sungguh-sungguh tidak peduli dengan statusnya sebagai janda beranak dua yang terlunta-lunta di Jakarta dan bukan lagi seorang guru bagi anak-anak buruh sawit di Sumatera.
Nayna di Jakarta hendak mencari kerja karena suasana pelosok Kampar sudah tidak lagi memberi kenyamanan baginya. Suaminya meninggal beberapa bulan lalu tanpa ada tetangga yang mau menguburkannya. Tidak juga seorangpun yang datang melayat atau memberi ucapan belasungkawa. Kematian yang benar-benar mereka anggap hina. Ia memilih Jakarta karena berusaha mengubur rasa trauma dan sakit hati dengan rimba ibukota. Entahlah, Nayna memang selalu begitu, selalu menganggap dunia begitu mudah ditaklukkan.
Di ibukota ia terpaksa berjualan roti keliling karena Jakarta menolak mentah-mentah ijazah PGSDnya. Ia tidak punya muka jika harus kembali ke kota Sungai Penuh dan meminta maaf kepada orang tua. Juga tidak berniat kembali ke Kampar dengan menyimpan alasan yang enggan ia ceritakan. Aku tidak bertanya, tapi aku yakin suatu saat ia pasti akan menjelaskan semuanya. Lagipula masih banyak waktuku bersama Nayna setiap harinya untuk menumpahkan segala Tanya.
*          *          *
Empat tahun berlalu sejak pernikahanku dengan Nayna. Nayna menjadi ibu rumah tangga yang baik yang menyeduhkan kopi untukku setiap harinya. Tidak lagi dengan cangkir putih seperti dulu, namun masih dengan rasa yang sama, sedikit kopi dengan banyak gula. Lukman dan Syahril sudah bersekolah dan sudah memanggilku dengan sebutan Bapak. Anak kami yang ketiga perempuan bernama Suci baru pandai berjalan.
Nayna masih terlihat cantik meski tubuhnya semakin kurus. Begitupun aku dan anak-anak kami. Padahal aku selalu memberikan uang untuk membelikan makanan yang memenuhi standar gizi. Namun masih saja kami sekeluarga mengalami penurunan berat badan yang tak bisa berhenti. Sesekali diantara kami bergiliran merasakan mual, muntah-muntah, dan terkadang hingga tiba-tiba menjadi gampang lupa. Rambut Nayna semakin banyak yang rontok, menjelang subuh nafasnya kerap tersengal-sengal dengan batuk yang berat. Pagi hari aku ke apotek membeli obat TBC, lalu batuk itu reda untuk beberapa hari kemudian kumat lagi.
Suatu malam Nayna mengeluh jika pangkal pahanya nyeri dan gatal-gatal, mungkin berjamur. Ia mengolesinya dengan salep herpes sisaan obat Lukman untuk sekedar menghilangkan gatal. Tapi ternyata hal itu terus berlanjut hampir tiap malam menjelang kami tidur. Nayna selalu mengeluh dengan gangguan di pangkal pahanya. Keesokan harinya aku mengajaknya ke Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, khawatir jika penyakit itu tidak kunjung sembuh meski telah di beri salep herpes dari apotik.
“Positif.”
Aku benar-benar gila mendengar penjelasan dokter. Nayna positif mengidap AIDS. Dan itu artinya aku, Lukman, Syahril, dan Suci juga positif tertular AIDS. Aku tidak lagi mendengarkan penjelasan-penjelasan dokter berikutnya. Yang kubayangkan adalah kengerian seperti yang pernah kubaca dan kusaksikan di televisi tentang kehidupan seorang penyandang penyakit yang paling menakutkan. Penyakit yang telah merenggut begitu banyak masa depan sekaligus harapan. Penyakit yang selalu dianggap begitu menjijikkan. Mungkin ia ditulari oleh suaminya yang dulu. Barangkali inilah penyebab Nayna enggan pulang ke Kampar Hulu karena para tetangga sudah tidak mau bergaul dengan dirinya. Juga salah satu alasan kenapa ia begitu malu bertemu dengan orang tua.
Di ruang periksa, sayup-sayup aku mendengar suara ranting patah dan cangkir kopi yang pecah.

SELESAI